KOMA HEPATIK
PENDAHULUAN
Hati merupakan salah satu organ yang sangat penting peranannya dalam mengatur metabolisme tubuh, yaitu dalam proses anabolisme atau sintesis bahan-bahan yang penting untuk kehidupan manusia seperti sintesis protein dan pembentukan glukosa, sedangkan dalam proses katabolisme dengan melakukan detoksikasi bahan-bahan seperti amonia, berbagai jenis hormon dan obat-obatan. Di samping itu hati juga berperan sebagai gudang tempat penyimpanan bahan-bahan seperti glikogen dan beberapa vitamin dan memelihara aliran normal darah splanknikus.4 Oleh karena itu terjadi kerusakan sel-sel parenkhim hati akut maupun kronik yang berat, fungsi-fungsi tersebut akan mengalami gangguan atau kekacauan, sehingga dapat timbul kelainan seperti ensefalopati hepatikum.
Koma hepatic adalah suatu sindrom neuropsikiatri, mempunyai spektrum klinik yang luas, dapat timbul akibat penyakit hati yang berat, baik akut maupun yang menahun ditandai adanya gangguan tingkah laku, gejala neurologik, astiriksis, berbagai derajat gangguan kesadaran sampai koma, dan kelainan elektro ensefalografi.
Koma hepatik merupakan sindrom neuropsikiatrik yang terjadi pada penyakit hati. Definisi tersebut menyiratkn bahwa spektrum klinis koma hepatik sangat luas, karena di dalamnya juga termauk pasien hepatitis fulminan serta pasien sirosis dalam stadium ensefalopati hepatik subklinis (EHS). Pasien sirosis hepatis yang telah dapat diatasi keadaan koma hepatik akutnya, berada dalam keadaan koma hepatik kronik, yang setiap saat dapat kembali mengalami episode akut apabila terdapat beberapa faktor seperti infeksi, pendarahan gastrointestinal dan asupan protein berlebihan. Pengobatan dini koma hepatik meliputi setiap upaya terapeutik yang dilakukan pada koma hepatik kronik, untuk mencegah terjadinya serangan EH akut. Karena terjadinya episode koma hepatik akut biasanya didahului oleh keadaan dekompensasi (fungsi) hati, pengobatan ini juga dapat bermakna mempertahankan “keadaan kompensasi selama mungkin”. Dengan tercapainya kompensasi, berarti secara subjektif pasien memperoleh kualitas hidup yang lebih baik (sympton-free). Beberapa ahli menyebutkan ensefalopati hepatic dengan istilah koma hepatikum. Karena manifestasinya tidak selalu dalam bentuk koma, melainkan terdiri atas beberapa tingkat perubahan kesadaran maka untuk selanjutnya dipakai istilah ensefalopati hepatic.Istilah lain adalah “Porto-System Enchephalopathy” (PSE), tidak banyak dipakai lagi oleh karena ternyata koma hepatik dapat terjadi tanpa kolateral porto-sistemik. Meskipun patogenesis yang tepat tentang terjadinya koma hepatik belum diketahui sepenuhnya, namun hipotesa-hipotesa yang ada menekankan peranan dari sel-sel parenkim hati yang rusak dengan atau tanpa adanya by pass sehingga bahan-bahan yang diduga toksis terhadap otak tidak dapat dimetabolisir seperti : ammonia, merkaptan, dan lain-lain dapat menumpuk dan mencapai otak. Faktor lain adalah terjadinya perubahan pada neutransmitter, gangguan keseimbangan Asam Amino Aromatik (AAA) dan Asam Amino Rantai Cabang (AARC) yang akhir-akhir ini banyak dibicarakan. Selain itu perlu disimak perubahan yang terjadi pada otak misalnya edema dan peningkatan tekanan intra kranial, serta perubahan-perubahan pada astrosit terutama terjadi pada koma hepatik akut (Fulminant Hepatic Failure). Hal – hal tersebut perlu dicermati agar pengelolaan penderita-penderita koma hepatik lebih terarah dengan hasil optimal.
TINJAUAN PUSTAKA
Definisi
Koma hepatik (ensefalopati hepatik) adalah sindroma neuropsikiatri pada penderita penyakit hati berat. Sindrom ini ditandai oleh kekacauan mental, tremor otot dan flapping tremor yang dinamakan asteriksis.2 Perubahan mental diawali dengan perubahan kepribadian, hilang ingatan dan iritabilitas yang dapat berlanjut hingga kematian akibat koma dalam.
Koma hepatik (ensefalopati sistem portal, ensefalopati hepatik) suatu kelainan dimana fungsi otak yang mengalami kemunduran akibat zat-zat racun di dalam darah, yang dalam keadaan normal dibuang oleh hati .
Klasifikasi yang dianut adalah :
1.Menurut cara terjadinya.
a.Koma hepatik tipe akut
Timbul tiba-tiba dengan perjalanan penyakit yang pendek, sangat cepat memburuk dan jatuh dalam kondisi koma, sering kurang dari 24 jam. Tipe ini antara lain hepatitis virus fulminan, hepatitis karena obat 3 (halotan dan asetaminofen) dan racun, sidroma reye dan dapat pula pada sirosis hepatis. Pejalanan penyakit eksplosif ditandai dengan delirium, kejang disertai dengan edema otak. Kematian terutama disebabkan edema serebral yang patogenesisnya belum jelas, kemungkinan akibat adanya perubahan permeabilitas sawar darah otak dan inhibisi neuronal (Na dan K) ATP-ase serta perubahan osmolar karena metabolisme amonia.
b.Koma hepatik tipe kronik.
Terjadinya dalam periode yang lama, berbulaan-bulan sampai bertahun-tahun3. Suatu contoh klasik yaitu encepalopati hepatik yang terjadi pada sirosis hepatik dengan kolateral sistem portal yang ekstensif, dengan tanda-tanda gangguan mental, emosional atau kelainan neurologik yang berangsur-angsur makin berat dan dicetuskan oleh bebrapa faktor pencetus seperti azotermia, sedatif, analgesik, perdarahan gastrointestinal, alkalosis metabolik, kelebihan protein, infeksi, obstipasi, gangguan keseimbngan cairan dan pemakaian diuretik akan dapat mencetuskan koma hepatik.
2.Menurut faktor etiologinya.
a.Koma Hepatik Primer / Endogen
Terjadinya tanpa adanya faktor pencetus, merupakan tahap akhir dari kerusakan sel-sel hati yang difus dan nekrosis sel hati yang meluas. Pada hepatitis fulminan terjadi kerusakan sel hati yang difus dan cepat, sehingga kesadaran terganggu, gelisah, timbul disorientasi, berteriak-teriak, kemudian dengan cepat jatuh dalam keadaan koma, sedangkan pada sirosis hepatis disebabkan fibrosis sel hati yang meluas dan biasanya sudah ada sistem kolateral, ascites. Disini gangguan disebabkan adanya zat racun yang tidak dapat dimetabolisir oleh hati. Melalui sistem portal / kolateral mempengaruhi susunan saraf pusat
b.Koma hepatik Sekunder / Eksogen
Terjadi karena adanya faktor-faktor pencetus encepalopati hepatik :
1.Meningkatnya Amoniagenesis
Substrate (protein) untuk amoniagenesis meningkat
Intake protein meningkat
Perdarahan saluran cerna
Konstipasi
Dehidrasi
Substrate (urea) untuk amoniagenesis meningkat
Gagal ginjal
Katabolisme protein meningkat
Infeksi
Hipokalemia
Sepsis
2.Fungsi Hepatoselluler Menurun
Dehidrasi
Hypotensi
Sepsis
Hypoxia
Anemia
Perkembangan carsinoma hepatoselluler
Obat-obat toksik
Terpapar virus hepatitis
3.Meningkatnya Portocaval Shunting
Trombosis vena portal
Transjugular intrahepatic postosystemic shunt formation
Surgical shunt formation
Spontaneous shunt formation
4.Penggunaan obat Psychoactive
Benzodizepin
Ethanol
Anti nausea
Anti histamin
5.Mekanisme yang lain :
Meningkatnya difusi amoniak ke blood brain barrier, alkalosis mungkin akan terjadi
Tranfusi darah, meningkatnya amoniagenesis dari tranfusi tidak seluruhnya diteliti.
Patogenesis
Patogenesis koma hepatik sampai saat ini belum diketahui secara pasti hal ini disebabkan karena :
1.Masih terdapat perbedaan mengenai dasar neurokimia/neurofisiologis.
2.Heterogenitas otak baik secara fungsional ataupun biokimia yang berbeda dalam jaringan otak.
3.Ketidakpastian apakah perubahan-perubahan mental dan penemuan biokimia saling berkaitan satu dengan yang lain.
Sebagai konsep umum dikemukakan bahwa koma hepatik terjadi akibat akumulasi dari sejumlah zat neuro aktif dan kemampuan komagenik dari zat-zat tersebut dalam sirkulasi sistemik.
Beberapa hipotesis yang telah dikemukakan pada patogenesis koma hepatik antara lain adalah :
Hipotesis Amoniak :
Amoniak berasal dari mukosa usus sebagai hasil degradasi protein dalam lumen usus dan dari bakteri yang mengandung urease. Dalam hati amonia diubah menjadi urea pada sel hati periportal dan menjadi glutamin pada sel hati perivenus, sehingga jumlah amonia masuk ke sirkulasi dapat dikontrol dengan baik. Glutamin juga diproduksi pada otot (50%), hati, ginjal dan otak (7%). Pada penyakit hati kronis akan terjadi gangguan metabolisme amonia sehingga terjadi peningkatan kadar amonia sebesar 5-10 kali lipat.
Besarnya produksi amonia ekstrakolon terjadi dalam ginjal. Gagal ginjal dapat meningkatkan amoniagenesis sebagai konsekuensi dari uremia yang meningkatkan persediaan substrat untuk urease. Amonia adalah suatu senyawa neurotoksik yang secara prinsipil terbuang dari tubuh manusia melalui konversi hepatic menjadi urea. Hepatosit-hepatosit periportal dalam liver secara primer me-metabolisir amonia. Lalu, urea dikeluarkan dalam urine. Amonia residual dalam sirkulasi sinusoidal hepatic dikonversikan menjadi glutamine melalui hepatosit-hepatosit perivenous yang menunjukkan sintesis glutamine.
Pemaparan amonia akut menghasilkan peningkatan uptake neuronal dari L-arginine melalui mekanisme transport khusus. Hal ini dapat memberikan suatu kesempatan untuk menambah detoksikasi melalui peningkatan produksi glutamine, dengan arginine yang berperan sebagai substrat awal, jalur ini juga memiliki konsekuensi toksik yang potensial akibat peningkatan generasi NO neural. Meningkatnya metabolisme amonia intraserebral ditunjukkan dengan menggunakan 13N-based Magnetic Resonance Spectroscopy (MRS), sehingga beberapa jalur dapat menyebabkan neurotoksisitas amonia. Dalam penelitian-penelitian neuropatolisis, Alzheimer tipe II astrocytosis khas dan sering memberikan hasil akhir seperti mekanisme tersebut. Astrocytosis memperlihatkan nukleus yang membengkak, marginasi kromatin dan nukleolus prominent. 5
Astrocytes adalah satu-satunya sel dalam otak yang mampu menimbulkan sintesis glutamine (jalur yang mempunyai rute utama untuk detoksifikasi amonia serebral). Terpaparnya astrocytes serebral pada bayi tikus dalam kultur primer menjadi amonia atau mangan (Mn) menghasilkan penurunan selektif dalam transport glutamate GLAST tanpa menimbulkan kematian sel. Masing-masing paparan amonia dan Mn mengacu pada peningkatan munculnya reseptor-reseptor benzodiazepine tipe peripheral (PTBR). 5
Karena perubahan-perubahan dalam pola-pola kemunculan gen dapat dilihat dalam berbagai keadaan yang mengarah pada perkembangan oedema seluler dalam astrocytes dan banyak tipe-tipe sel lainnya, mekanisme tersebut mengarah ke perubahan penampakan gen astrocyte berasal dari pemaparan amonia dapat menjadi non-spesifik. MRS proton in vivo (IH-MRS) menunjukkan bahwa astrocyte membengkak tanpa peningkatan tekanan intraserebral dapat terjadi.
Akhirnya, perkembangan lanjutan dari portosystemic encephalopathy dapat disertai dengan oedema serebral, yang dapat berperan pada kerusakan neurologis. Sedangkan oedema serebral memiliki manifestasi yang paling jelas pada pasien dengan gagal hepatic yang sangat parah (FHF), bahan-bahan aktif secara osmotic dapat menumpuk dalam otak pasien tanpa menyebabkan oedema serebral. Suatu kumpulan myoinositol yang sensitive secara osmotic dilepaskan dari astrocytes sebagai respon terhadap pembengkakan astrocyte yang terinduksi secara osmotic. Suatu deplesi myoinositosil terlihat dengan 1H MRS pada pasien-pasien dengan portosystemic encephalopathyp kronis dan tampaknya terkait dengan peningkatan sinyal untuk glutamine dan glutamate.
Dengan pemakaian magnetic resonance spectroscopy (MRS) oedema serebral tingkat rendah dapat terlihat pada pasien dengan cirrhosis dan hepatic encephalopathyp kronis.
Selain dari pembengkakan astrocyte dan fenomena osmotic, perawatan hepatic encephalopathy tidak termasuk pemakaian mannitol atau hiperventilasi kecuali dicurigai adanya oedema serebral, seperti pada FHF. Tidak ada peran yang terbentuk baru-baru ini untuk MRI atau MRS serebral rutin dalam evaluasi porto systemic encephalopathy. Data mendukung hipotesis amonia dalam perkembangan portosystemic encephalopathy sehingga menjadi impresif . Bahkan decade terakhir diketahui amonia sebagai elemen kunci dalam patogenesa portosystemic encephalopathy. Tetapi molekul-molekul kecil lain juga berperan dan teori-teori ini tidak eksklusif. 5
Beberapa peneliti melaporkan bahwa amonia secara invitro akan mengubah loncatan (fluk) klorida melalui membran neural dan akan menganggu keseimbangan potensial aksi sel syaraf. Di samping itu amonia dalam proses detoksikasi akan menekan eksitasi transmiter asam amino, aspartat dan glutamat.
Hipotesis Neurotransmiter Palsu :
Pada keadaan normal pada otak terdapat neutransmiter dopamin dan nor adrenalin, sedangkan pada keadaan gangguan faal hati, neurotranmiter otak akan diganti oleh neurotransmiter palsu yaitu oktapamin dan feniletanolamin, yang lebih lemah dibandingkan dopamin dan nor-adrenalin.
Beberapa faktor yang mempengaruhi adalah :
1.Pengaruh bakteri usus terhadap protein sehingga terjadi peningkatan produksi oktapamin yang melalui aliran pintas (shunt) masuk ke sirkulasi otak.
2.Pada gagal hati seperti sirosis hepatis akan terjadi penurunan asam amino rantai cabang (AARC) yang terdiri dari valin, leusin dan isoleusin yang mengakibatkan terjadinya peningkatan asam amino aromatik (AAA) seperti tirosin, fenilalanin dan triptofan karena penurunan ambilan hati (hepatic-uptake).
Rasio antara AARC dan AAA (Fisischer ratio) normal antara 3-3,5 akan menjadi lebih kecil dari1,0. Keseimbangan kedua kelompok asam amino tersebut penting dipertahankan karena akan menggambarkan konsentrasi neurotransmiter pada susunan syaraf.
Hipotesis GABA dan Benzodizepin
Ketidakseimbangan antara asam amino neurotransmiter yang merangsang dan yang menghambat fungsi otak merupakan faktor yang berperan pada terjadinya koma hepatik. Terjadinya penurunan transmiter yang memiliki efek merangsang seperti glutamat, aspartat dan dopamin sebagai akibat meningkatnya amonia dan gama aminobutirat (GABA) yang menghambat tranmisi impuls.
Efek GABA yang meningkat bukan karena influks yang meningkat kedalam otak tapi akibat perubahan reseptor GABA dalam otak akibat suatu substansi yang mirip benzodiazepin (Benzodiazepin like substrat).
Hipotesis Toksisitas Sinergis
Neurotoksin lain yang mempunyai efek sinergis dengan amonia seperti merkaptan, asam lemek rantai pendek (oktanoid), fenol dan lain-lain.
Asam lemak rantai pendek terutama oktanoid mempunyai efek metabolik seperti rangsangan oksidasi, fosforilasi dan penghambatan konsumsi oksigen serta penekanan aktivitas Na, K, ATP-ase sehingga dapat mengakibatkan koma hepatik reversibel.
Fenol sebagai hasil metabolisme tirosin dan fenilalamin dapat menekan aktivitas otak dan enzim hati monoamin oksidase, laktat dehidrogenase, suksinat dehidrogenase, prolin oksidase yang berpotensi dengan zat lain seperti amonia yang mengakibatkan koma hepatikum. Senyawa-senyawa tersebut akan memperkuat sifat-sifat neurotoksisitas dari amonia.
Beberapa bahan toksik yang diduga berperan terhadap terjadinya EH :
1.Amoniak
Ammonia merupakan bahan yang paling banyak diselidiki. Zat ini berasal dari penguraian nitrogen oleh bakteri dalam usus, di samping itu dihasilkan oleh ginjal, jaringan otot perifer, otak dan lambung. Secara teori ammonia mengganggu faal otak melalui:
Pengaruh langsung terhadap membran neuron.
Mempengaruhi metabolisme otak melalui siklus peningkatan sintesis glutamin dan ketoglutarat, kedua bahan ini mempengaruhi siklus kreb sehingga menyebabkan hilangnya molekul ATP yang diperlukan untuk oksidasi sel.
Peneliti lain mendapatkan bahwa kadar amonia yang tinggi tidak seiring dengan beratnya kelainan rekaman EEG. Dilaporkan bahwa peran amonia pada EH tidak berdiri sendiri. Tetapi bersama-sama zat lain seperti merkaptan dan asam lemak rantai pendek. Diduga kenaikan kadar amonia pada EH hanya merupakan indikator non spesifik dari metabolisme otak yang terganggu .
Tingkat Encepalopati
Kadar Amonia Darah dalam Mikrogram/dl
Tingkat 0
<150
Tingkat 1
151-200
Tingkat 2
201-250
Tingkat 3
251-300
Tingkat 4
>300
2.Asam Amino Neurotoksik (Triptofan, Metionin, dan Merkaptan).
Triptopan dan metabolitnya serotonin bersifat toksis terhadap SSP. Metionin dalam usus mengalami metabolisme oleh bakteri menjadi merkaptan yang toksis terhadap SSP. Di samping itu merkaptan dan asam lemak bebas akan bekerja sinergistik mengganggu detoksifikasi amonia di otak, dan bersama-sama amonia menyebabkan timbulnya koma .
3.Gangguan Keseimbangan Asam Amino
Asam Amino Aromatik ( AAA) meningkat pada encepalopati hepatik karena kegagalan deaminasi di hati dan penurunan Asan Amino Rantai Cabang (AARC) akibat katabolisme protein di otot dan ginjal yang terjadi hiperinsulinemia pada penyakit hati kronik. AAA ini bersaing dengan AARC untuk melewati sawar otak, yang permeabilitasnya berubah pada encepalopati hepatik. Termasuk AAA adalah metionin, fenilalanin, tirosin, sedangkan yang termasuk AARC adalah valin, leusin, dan isoleusin
4.Asam Lemak Rantai Pendek
Pada encepalopati hepatik terdapat kenaikan kadar asam lemak rantai pendek seperti asam butirat, valerat, oktanoat, dan kaproat, diduga sebagai salah satu toksin serebral penyebab encepalopati hepatik. Bahan-bahan ini bekerja dengan cara menekan sistem retikuler otak, menghemat detoksifikasi ammonia .
5.Neurotramsmitter Palsu.
Neurotrasmitter palsu yang telah diketahui adalah Gamma Aminobutyric Acid (GABA), oktapamin, histamin, feniletanolamin, dan serotonin. Neurotransmitter palsu merupakan inhibitor kompetitif dari true neurotrasmitter (dopamine dan norephinephrine) pada sinaps di ujung saraf, yang kadarnya menurun pada penderita PSE. Penelitian menunjukkan bahwa GABA bekerja secara sinergis dengan benzodiasepine membentuk suatu kompleks, menempati reseptor ionophore chloride di otak, yang disebut reseptor GABA/BZ. Pengikatan reseptor tersebut akan menimbulkan hiperpolarisasi sel otak, di samping itu juga menekan fungsi korteks dan subkorteks, rangkaian peristiwa tersebut menyebabkan kesadaran dan koordinasi motorik terganggu. Hipotesis ini membuka jalan untuk penelitian lebih lanjut .
6.Glukagon
Peningkatan AAA pada encepalopati hepatik / koma hepatik mempunyai hubungan erat dengan tingginya kadar glukagon. Peninggian glukagon turut berperan atas peningkatan beban nitrogen. Karena hormon ini melepas Asam Amino Aromatik dari protein hati untuk mendorong terjadinya glukoneogenesis. Kadar glukagon meningkat akibat hipersekresi atau hipometabolisme pada penyakit hati terutama bila terdapat sirkulasi kolateral .
7.Perubahan Sawar Darah Otak
Pembuluh darah otak dalam keadaan normal tidak permeabel terhadap berbagai macam substansi. Terdapat hubungan kuat antara endotel kapiler otak, ini merupakan sawar yang mengatur pengeluaran bermacam-macam substansi dan menahan beberapa zat essensial seperti neurotrasmitter asli. Pada koma hepatikum ditemukan kerusakan kapiler, rusaknya hubungan endotel, terjadi edema serebri sehingga bahan yang biasanya dikeluarkan dari otak akan masuk dengan mudah seperti fenilalanin dalam jumlah besar, sehingga kadar asam amino lainnnya meningkat di dalam otak .
Manifestasi Klinik
Spektrum klinis encepalopati hepatik sangat luas sekali dari asimtomatik hingga koma hepatik3. Gejala dan tanda klinis ensepalopati hepatik dapat timbul sangat cepat dan berkembang menjadi koma bila gagal hati pada penderita hepatitis fulminan. Pada penderita sirosis, perkembangannya berlangsung lebih lambat dan bila ditemukan pada stadium dini masih reversibel.
Manifestasi klinis encepalopati hepatik biasanya didahului oleh dekompensasi hati dan adanya faktor pencetus yang berupa keadaan amoniagenik seperti makan protein berlebih, perdarahan gastrointestinal atau program obat sedatif.
Manifestasi encepalopati hepatik adalah gabungan dari ganguan mental dan neurologik. Gambaran klinik encepalopati hepatik sangat bervariasi, tergantung progresivitas penyakit ini, penyebab, dan ada tidaknya berdasarkan status mental, adanya asteriksis serta kelainan EEG.
Koma hepatik subklinis (asimtomatis) merupakan awal terjadinya encephalopathy hepatik, pasien tampak normal secara klinis tetapi tidak demikian pada uji psikometrik / pemeriksaan EEG. Hal ini diistilahkan sebagai encephalopathy hepatik subklinis atau laten (EHS). Pada kondisi ini untuk mendiagnosis pasien dengan memberikan tugas-tugas yang membutuhkan waktu reaksi cepat.5 Para peneliti mendapatkan bahwa proporsi EHS jauh lebih besar daripada koma hepatik klinis (akut maupun kronik), yaitu mencapai 70-80% dari seluruh kasus sirosis hepatik dengan hipertensi portal.
Perkembangan koma hepatik menjadi koma dibagi dalam 4 stadium yaitu:
Stadium I
Tidak begitu jelas dan mungkin sukar diketahui. Tanda yang berbahaya adalah sedikit perubahan kepribadian dan tingkah laku, termasuk penampilan yang tidak terawat baik, pandangan mata kosong, bicara tidak jelas, tertawa sembarangan, pelupa dan tidak mampu memusatkan pikiran. Penderita mungkin cukup rasional, hanya terkadang tidak kooperatif atau sedikit kurang ajar. Pemantauan yang seksama menunjukkan bahwa mereka lebih letargi atau tidur lebih lama dari biasanya atau irama tidurnya terbalik.
Stadium II
Lebih menonjol daripada stadium I dan mudah diketahui. Terjadi perubahan perilaku yang tidak semestinya dan pengendalian sfingter tidak dapat terus dipertahankan. Kedutan otot generalisata dan asteriksis merupakan temuan yang khas. Asteriksis atau flapping tremor dapat dicetuskan bila penderita disuruh mengangkat kedua lengannya dengan lengan atas difiksasi, pergelangan tangan hiperekstensi dan jari-jari terpisah. Perasat ini menyebabkan gerakan fleksi dan ekstensi involunter cepat dari pergelangan tangan dan sendi metakarpofalang. Asteriksis merupakan suatu manisfestasi perifer gangguan metabolisme otak. Keadaan seperti ini dapat juga timbul pada sindroma uremia. Pada tahap ini, letargi serta perubahan sifat dan kepribadian menjadi lebih jelas terlihat.
Apraksia konstitusional adalah gambaran lain yang mencolok dari encepalopati hepatik. Penderita tidak dapat menulis atau menggambar dengan baik seperti menggambar dengan baik seperti menggambar bintang atau rumah. Sederetan tulisan tangan atau gambar merupakan cara berguna untuk menentukan perkembangan encepalopati.
Stadium III
Penderita dapat mengalami kebingungan yang nyata dengan perubahan perilaku. Bila pada saat ini penderita hanya diberi sedatif dan bukan pengobatan untuk mengatasi proses toksiknya, maka mungkin encepalopati akan berkembang menjadi koma dan prognosisnya fatal. Selama stadium ini, penderita dapat tidur sepanjang waktu. Elektroencepalogram mulai berubah pada stadium II dan menjadi abnormal pada stadium III dan IV.
Stadium IV
Penderita masuk dalam keadaan koma yang tidak dapat dibangunkan, sehingga timbul refleks hiperaktif dan tanda babinsky. Pada saat ini bau yang apek yang manis (fetor hepatikum) dapat tercium pada napas penderita atau bahkan waktu masuk kedalam kamarnya. Fetor hepatikum merupakan tanda prognosis yang buruk dan intensitas baunya sangat berhubungan dengan derajat somnolensia dan kekacauan. Hasil pemeriksaan laboratorium tambahan adalah kadar amonia darah yang meningkat dan hal ini dapat membantu mendeteksi encepalopati.
Diagnosis Banding
1.Koma akibat intoksikasi obat-obatan (sedative, antidepresi, antipsycotik dan salicylates), alkohol (keracunan akut dan encepalopati Wernicke)
2.Trauma kepala seperti komosio serebri, kontusio serebri, perdarahan subdural dan perdarahan epidural
3.Tumor otak
4.Infeksi seperti meningitis, encephalitis dan abses intrakranial
5.Koma akibat gangguan metabolisme lain seperti uremia, koma hipoglikemia, koma hiperglikemia, anoxia, ketidakseimbangan elektrolit dan hiperkarbia.
6.Epilepsi
7.Hyperamonemia karena sebab yang lain seperti ureterosigmoidostomy
8.Sindroma otak organik
Diagnosis
Diagnosis ditegakkan atas dasar anamnesis riwayat penyakit pemeriksaan fiisk, dan pemeriksaan penunjang :
1.Anamnesis.
Riwayat penyakit hati
Riwayat kemungkinan adanya faktor pencetus
Adakah kelainan neuropsikiatri seperti perubahan tingkah laku, kepribadian, kecerdasan, kemampuan bicara dan sebagainya.
2.Pemeriksaan fisik
Tentukan tingkat kesadaran atau tingkat encepalopati
Stigma penyakit hati (tanda-tanda kegagalan faal hati dan hipertensi portal)
Adanya kelainan neurologik yaitu inkoordinasi tremor, reflek patologi, kekakuan.
Kejang, disatria.
Gejala infeksi berat atau septicemia
Tanda-tanda dehidrasi
Adanya perdarahan gastrointestinal
3.Pemeriksaan Laboratorium
a.Hematologi
Hemoglobin, hematokrit, hitung lekosit-eritrosi-trombosit, hitung jenis lekosit
Jika diperlukan faal pembekuan darah.
b. Biokimia darah.
- Uji faal hati yaitu transaminase, bilirubin, elektroforesis, protein, kolesterol,alkali fosfatase.
- Uji faal ginjal yaitu BUN, kreatinin serum
- Kadar amoniak darah.
Pada kerusakan sel hati seperti sirosis hepatis, terjadi peningkatan kadar amonia darah karena gangguan fungsi hati dalam mendetoksikasi am,onia serta adanya pintas porto sistemik.
- Atas indikasi : HbsAg, anti-HCV,AFP, elektrolit, analisis gas darah
c.Urin dan tinja rutin
Pemeriksaan penunjang :
a. EEG (Elektroencefalografi).
Dengan pemeriksaan EEG terlihat peninggian amplitudo dan menurunnya jumlah siklus gelombang perdetik. Terjadi penurunan frekuensi dari gelombang normal Alfa (8-12Hz).
Tingkat Encepalopati
Frekuensi Gelombang EEG
Tingkat 0
Frekuensi Alfa (8,5-12 siklus/detik)
Tingkat I
7-8 siklus/detik
Tingkat II
5-7 siklus/detik
Tingkat III
3-5 siklus/detik
Tingkat IV
3 siklus/detik atau negatif
b.Tes Psikometri.
Cara ini dapat membantu menilai tingkat kemampuan intelektual pasien yang mengalami koma hepatik subklinis. Penggunaanya sangat sederhana dan mudah melakukannya serta memberikan hasil dengan cepat dan tidak mahal. Tes ini pertama kali dipakai oleh Reitan (Reitan Trail Making Test) yang digunakan secara luas pada ujian personel militer Amerika. Kemudian dilakukan modifikasi dari tes ini yang disebut sebagai Uji Hubung Angka. Dengan UHA, encepalopati dibagi dalam 4 kategori.
Tingkat Encepalopati
Hasil Uji Hubung Angka (UHA) dalam detik
Normal
15-30
Tingkat I
31-50
Tingkat II
51-80
Tingkat III
81-120
Tingkat IV
> 120
Tes UHA dapat dipakai untuk menilai tingkat encepalopati hepatik terutama untuk pasien sirosis hepatik yang rawat jalan.
c.CT Scan Kepala
Biasanya dilakukan dalam stadium koma hepatik yang parah untuk menilai udema otak dan menyingkirkan lesi structural (terutama hematoma subdural pada alkoholis).
d.Pungsi lumbal.
Umumnya mengungkapkan hasil-hasil yang normal, kecuali peningkatan glutamin. Cairan serebrospinal dapat berwarna zantokromat akibat meningkatnya kadar bilirubin. Hitung sel darah putih cairan spinal yang meningkat menunjukan adanya infeksi. Edema otak dapat menyebabkan peningkatan tekanan.
Penatalaksanaan
Penatalaksanaan koma hepatik harus memperhatikan apakah koma hepatik yang terjadi adalah primer atau sekunder. Pada koma hepatik primer terjadinya koma akibat kerusakan parenkim hati yang berat tanpa adanya faktor pencetus, sedangkan pada koma hepatik sekunder terjadinya koma dipicu oleh faktor pencetus.
1. Koma hepatik tipe akut.
a. Tindakan Umum
1.Penderita stadium III-IV perlu perawatan suportif yang intensif yaitu tirah baring, bebaskan jalan nafas, pemberian oksigen, pasang kateter forley.
2.Pemantauan kesadaran, keadaan neuropsikiatri, system kardiopulmonal dan ginjal, keseimbangan cairan, elektrolit serta asam basa.
3.Pemberian kalori 2000 kal/hari atau lebih pada fase akut bebas protein.
b. Tindakan Khusus
1.Mengurangi pemasukan protein
Pembatasan pemberian protein karena pemasukan protein yang berlebih akan meningkatkan kadar amonia, pada pasein dengan gangguan hati yang berat akan memperbesar kemungkinan terjadi encepalopati hepatik.
Diet tanpa protein untuk stadium III-IV
Diet rendah protein (20gram/hari) untuk stadium I-II. Segera setelah fase akut terlewati, intake protein mulai ditingkatkan dari beban protein kemudian ditambahkan 10 gram secara bertahap sampai kebutuhan maintenance (40-60gram/hari).
2.Mengurangi populasi bakteri kolon
Laktulosa peroral untuk stadium I-II atau dengan pipa nasogastrik untuk stadium III-IV, 30-50 cc diberikan 1-2 kali sehari dan dosis dapat ditingkatkan sampai batas toleransi dari pasien. 10 Pasien diperintahkan untuk menurunkan dosis bila telah terjadi diare atau kram perut. Bila terjadi over dosis laktulosa akan terjadi ileus, gangguan elektrolit, diare yang berat dan hipovolemia.
Laktulosa (Beta-galactosidofruktose) merupakan suatu disakarida sintetis yang tidak diabsorbsi oleh usus halus, tetapi dihidrolisis oleh bakteri usus besar, sehingga terjadi lingkungan dengan PH asam yang akan menghambat penyerapan amoniak. Selain itu frekuensi defekasi bertambah sehingga memperpendek waktu transit protein di usus. Secara umum dikatakan laktulosa menghambat produksi dan penyerapan amonia di dalam usus, dan meningkatkan eliminasinya melalui feses. Laktulosa membutuhkan waktu 48 jam untuk bekerja dan harus diberikan secara teratur.11 Penggunaan laktulosa bersama antibiotika yang tidak diabsorbsi oleh usus seperti neomisin, akan memberikan hasil yang lebih baik.
Lactilol (Beta-GalactosideSorbitol), dosis : 0,3-0,5 gram/hari
Pengosongan usus dengan lavement 1-2x/hari : dapat dipakai katartik osmotic seperti MgSO4 atau laveman ( memakai larutan laktulosa 20% atau larutan neomisin 1% sehingga didapat pH= 4).
Antibiotika :
Antibiotik diberikan untuk menghilangkan bakteri dalam usus yang mampu mengurai protein menjadi amoniak (bahan toksik lainnya).
Neomisin 4x1-2gram/hari peroral, untuk stadium I-II, atau melalui pipa nasogastrik untuk stadium III-IV. Neomisin diberikan setelah laktulosa. Pemberian neomisin jangka lama berisiko terjadi ototoksik (syaraf kranial VIII) dan nefrotoksik. Efek-efek ini juga berhubungan dengan dosis. Selain neomisin bisa diberikan antibiotik yang lain sepeti metronidazol, vancomicin oral, paromomycin dan quinolon oral 10
Rifaximin / derifat Rimycin ( Xifaxan, Salix Pharmaceuticals, Inc, Morrisville, NC) dosis : 1200 mg per hari selama 5 hari dikatakan cukup efektif seperti halnya neomisin. Efek samping obat ini seperti kram perut dapat turunkan dan mempercepat perawatan pasien di rumah sakit, tetapi terapi jangka lama dilaporkan dapat menimbulkan resistensi.
c.Pemberian Asam Amino Rantai Cabang (AARC) :
Penderita koma hepatik perlu mendapatkan nutrisi parenteral. Sebagai langkah pertama dapat diberikan cairan dektrose 10% atau maltose 10%, karena kebutuhan karbohidrat harus terpenuhi lebih dahulu. Langkah selanjutnya dapat diberikan cairan yang mengandung AARC/asam amino rantai cabang (Comafusin hepar). 3
AARC diperlukan pula untuk eliminasi amonia yang meningkat. Eliminasi amonia menjadi glutamin memerlukan glutamat atau asam glutamik, sedangkan AARC merupakan prekursor glutamat. Ini akan menyebabkan makin menurunnya kadar AARC. Di sisi lain, asam amino aromatik (AAA) meningkat karena tidak dimetabolisme oleh sel hati yang rusak. Akibatnya rasio AARC / AAA menurun, dan dapat menyebabkan terjadinya ensefalopati hepatik.
Terapi nutrisi yang adekuat akan memperbaiki status nutrisi pasien. AARC merupakan asam amino esensial yang terdiri dari leusin, isoleusin, dan valin, yang banyak terkandung dalam susu, produk susu, dan makanan nabati. Pemberian AARC pada sirosis hepatik dengan ensefalopati sub-klinis dapat mencegah ensefalopati yang lebih berat. Suplementasi AARC juga memperbaiki rasio AARC / AAA sehingga status protein membaik dan mencegah katabolisme otot. Peneliti melaporkan pula bahwa asupan protein, lemak, dan karbohidrat yang adekuat, serta suplementasi formula yang diperkaya AARC pada pasien sirosis hepatik dapat mencegah malnutrisi dan menambah harapan hidup.
Tujuan pemberian AARC pada koma hepatik adalah
a.Untuk mendapatkan energi yang dibutuhkan tanpa memperberat fungsi hati.
b.Pemberian AARC akan memperbaiki sintesis katekolamin pada jaringan perifer.
c.Asam amino rantai cabang akan mengurangi asam amino aromatik dalam darah.
d.Pemberian asam amino rantai cabang dengan dektrose hipertonik akan mengurangi hiperaminosidemia.
d.Obat-obat lain :
L-ornithine L-aspartat (LOLA)
LOLA ( Hepa-Merz, Merz Pharmaceuticals GmgH, Frankfurt am Main, Germany). LOLA tersedia dalam formula intra vena untuk pasien dengan kesadaran menurun dan formula oral. LOLA adalah suatu garam stabil dengan 2 unsur asam amino. L-ornitine menstimuli siklus urea, dengan hasil akhir hilangnya amoniak darah. Sedangkan keduanya yaitu L-ornitine dan L-aspartat adalah substrat dari glutamate transaminase, sehingga dapat meningkatkan kadar glutamate. Amoniak digunakan dalam konversi glutamate menjadi glutamine oleh glutamine sintetase. Berdasarkan beberapa penelitian di eropa LOLA cukup efektif untuk pasien dengan hiperammonaemia dan encepalopati hepatik dalam menurunkan konsentrasi amoniak darah dan meningkatkan pencapaian psychometric. Penggunaan L-ornithine L-aspartat dikontraindikasikan pada pasien dengan gagal ginjal.
Zinc
Defisiensi zinc dapat terjadi pada pasien dengan sirosis hepatis. Pemberian zinc mempunyai potensi untuk meningkatkan aktivitas ornitine transcarbamylase, suatu enzim dalam siklus urea, sehingga dengan terjadinya ureagenesis dapat menurunkan amoniak. Zinc sulfat dan zinc acetate diberikan dengan dosis 600mg per hari oral, tetapi efektifetasnya masih dalam penelitian.
Sodium benzote, Sodium phenylbuthyrate, Sodium phenilacetate.
Sodium benzoat berinteraksi dengan glycine untuk membentuk hippurate. Ekskresinya diginjal menyebabkan hilangnya amoniak. Dosis sodium benzoat 5 g oral diberikan 2 kali sehari dapat secara efektif mengendalikan encepalopati hepatik. Tetapi penggunaan obat ini dibatasi karena risiko over load dan rasanya yang tidak enak. 10
Sodium phenylbutyrate dikonversi menjadi phenyacetate. Phenylacetate bereaksi dengan glutamine untuk membentuk phenylacetylglutamine. Bahan ini dikeluarkan melalui urine yang hilang bersama dengan amonia. Sodium phenylbutyrate (Buphenyl, ucyclyd, pharma, Ariz) dan sodium phenyacetate intravena dikombinasi dengan natrium benzoat digunakan untuk terapi hiperamonemia akibat rusaknya siklus urea.10
Hindari pemakaian sedativa atau hipnotika, kecuali bila penderita sangat gelisah dapat diberikan dimenhidrimat (Dramamine) 50mg i.m: bila perlu diulangi tiap 6-8 jam. Pilihan obat lain : fenobarbital, yang ekskresinya sebagian besar melalui ginjal
Vit K 10-20 mg/hari i.m atau peroral atau pipa nasogastrik.
2. Koma hepatik tipe kronik
Prinsip-prinsip pengobatan koma hepatik tipe kronik :
a.Diet rendah protein, maksimal 1 gram / kg BB terutama protein nabati.
b.Hindari konstipasi, dengan memberikan laktulosa dalam dosis secukupnya (2-3 x 10 cc/hari).
c.Bila gejala ensefalopati meningkat, ditambah neomisin 4x1 gram/hari
d.Bila timbul aksaserbasi akut, sama seperti encepalopati hepatik tipe akut.
e.Perlu pemantauan jangka panjang untuk penilaian keadaan mental dan neuromuskulernya.
f.Pembedahan elektif : colon by pass, transplantasi hati.
Transplantasi hati merupakan penanganan pada pasien dengan EH stadium akhir. Transplantasi hati ini akan memberikan hasil yang mampu menormalkan konsentrasi amonia darah, sehingga dapat memperbaiki fungsi kognitive pasien.
Prognosis
Pada koma hepatik sekunder, bila faktor-faktor pencetus teratasi, maka dengan pengobatan standart hampir 80% pasien akan kembali sadar. Pada pasien dengan koma hepatik primer dan penyakit berat prognosis akan lebih buruk bila disertai hipoalbumin, ikterus, serta asites. Sementara koma hepatik akibat gagal hati fulminan kemungkinan hanya 20% yang sadar kembali setelah dirawat pada pusat-pusat kesehatan.
Prognosis penderita koma hepatik tergantung dari :
a.Penyakit hati yang mendasari
b.Faktor-faktor pencetus
c.Usia, keadaan gizi.
d.Derajat kerusakan parenkim hati
e.Kemampuan regenerasi hati
Senin, 18 Januari 2010
Diposting oleh EwieQ di 20.34 0 komentar
SKLEROTERAPI PADA VARISES EKSTREMITAS INFERIOR
PENDAHULUAN
Bentuk varises yang berkelok-kelok, memanjang atau melebar pada ekstrimitas inferior adalah akibat rusaknya katup pada system pembuluh darah superfisial. Umumnya varises ini menjangkiti 30-40% populasi orang dewasa di Inggris antara usia 30-70 tahun, meskipun demikian, hanya beberapa orang saja yang berobat. Penyakit ini menimbulkan rasa sakit yang bermacam-macam dan tidak semua perawatan dapat diterapkan pada varises, terlebih untuk teknik baru seperti skleroterapi. Rata-rata pasien bermasalah dengan kecantikan (kosmetik) mereka, sementara yang lainnya bermasalah dengan gejala-gejala seperti, kaki yang sakit, pruritus, dan eksema.
Skleroterapi adalah prosedur yang digunakan untuk merawat pembuluh darah atau malformasi pembuluh darah (malformasi vaskuler) dan juga system limpa. Obat diinjeksikan ke dalam pembuluh darah, yang membuat pembuluh darah tersebut menyusut. Digunakan pada anak-anak dan dewasa dengan malformasi vaskuler atau limpatik. Pada orang dewasa, skleroterapi digunakan untuk merawat varises dan hemorrhoids.
Skleroterapi adalah “gold standard” dan lebih dipilih daripada laser, untuk menghilangkan varises kecil pada kaki. Berbagai sklerosan cair diinjeksikan ke dalam permukaan pembuluh darah yang tidak normal di kaki. Kaki pasien kemudian diberikan kompresi melalui pemakaian kaos kaki atau verban yang biasa dikenakan oleh pasien selam 2 minggu setelah perawatan. Pasien juga disarankan untuk berjalan-jalan secara teratur selama perawatan itu.
TINJAUAN PUSTAKA
Varises
Varises adalah pemanjangan, pelebaran dan berkelok-keloknya system vena yang disertai gangguan sirkulasi darah di dalamnya. Vena-vena tersebut mengalami dilatasi akibat pengaruh peningkatan tekanan vena. Varises ini merupakan suatu manifestasi dari sindrom insufiensi vena dimana pada sindrom ini aliran darah dalam vena mengalami arah aliran retrograde atau aliran balik menuju tungkai yang kemudian mengalami kongesti.
Anatomi
Secara anatomi, pada ekstremitas inferior terdapat tiga macam system vena yang sekaligus juga mempunyai arti klinik, yaitu pertama system vena superficial, kedua system vena profunda dan yang ketiga adalah system vena komunikas atau system vena penghubung.Sistem vena komunikans merupakan penghubung antara system vena superfisial dan system vena profunda. Seluruh system vena ini dilengkapi oleh katup yang menghadap ke arah jantung. System vena profunda terletak dalam bungkusan otot. System ini diperas kosong ke arah proksimal pada setiap kontraksi otot ekstremitas inferior. System vena superfisial ekstremitas inferior ini terdiri dari system vena saphena magna dan vena saphena parva. Darah dari system vena superfisial ini mengalir ke system vena profunda melalui berbagai vena komunikans atau vena penghubung yang menembus selubung otot dan mempunyai katup yang menjamin darah mengalir dari vena superfisial ke vena profunda.
Vena superfisialis yang terdapat pada facia superfisialis ekstremitas inferior adalah vena saphena magna dan vena saphena parva dan cabang-cabangnya.
Vena Saphena magna berawal dari sisi medial kaki yang merupakan bagian dari lengkung vena dan mendapatkan percabangan dari vena profunda pada kaki yang kemudian berjalan ke atas sepanjang sisi anterior malleolus medialis. Dari pergelangan kaki, VSM berjalan pada sisi anteromedial betis sampai lutut dan ke bagian paha dimana terletak lebih medial. Dari betis bagian atas sampai pelipatan paha VSM ditutupi oleh sebuah fasia tipis dimana fasia ini berfungsi mencegah agar vena ini tidak berdilatasi secara berlebihan. Normalnya VSM memiliki ukuran normal 3-4 mm pada pertengahan paha.
Sepanjang perjalanannya sejumlah vena komunikans menghubungkan antara VSM dengan system vena profunda pada region femoral, tibia posterior, gastrocnemius.
Pada hiatus saphenus di facia profunda, v.saphena magna biasanya mendapat tiga cabang berbagai ukuran dan susunan yaitu 1. Vena circumflexa iliaka superficialis 2. Vena epigastrica superfisialis 3. Vena profunda interna superficialis. Apabila vena-vena ini mengalami refluks akan bermanifestasi pada paha bagian bawah dan betis bagian atas. Akhir dari perjalanan VSM berakhir di vena femoralis, percabangan ini disebut dengan Safenofemoral junction. Pada pertemuan antara VSM dan vena femoralis terdapat katup terakhir dari VSM.
Vena saphena parva timbul dari bagian lateral arcus venosus dorsalis pedis. Vena saphena parva naik di belakang malleolus lateralis bersama dengan musculus suralis. Ia mengikuti tepi lateral tendo calcaneus dan kemudian naik ke pertengahan tungkai bawah bagian belakang. Vena ini menembus fasia profunda dan berjalan di antara kedua caput musculus gastrocnemius pada bagian bawah fosa poplitea, ia berakhir dalam vena poplitea. Vena saphena parva memiliki banyak katup sepanjang pembuluhnya. Cara berakhirnya vena saphena parva ternyata bervariasi yaitu 1. Dapat menyatu dengan vena poplitea. 2. dapat menyatu dengan vena saphena magna. 3. Pecah menjadi dua, satu divisi menyatu dengan vena poplitea dan lainnya dengan vena saphena magna.
Gambaran Klinik
Secara klinis varises ekstremitas inferior dikelompokkan atas varises trunkal, varises reticular dan varises kapilar. Varises trunkal merupakan varises vena saphena magna dan vena saphena parva. Varises retikular menyerang cabang vena sphena magna dan parva yang umumnya kecil dan berkelok hebat. Varises kapilar merupakan merupakan varises kapilar subkutan yang tampak sebagai kelompok serabut halus dari pembuluh darah.
Pasien dengan varises vena mungkin menunjukkan komplikasi varises akut berupa perdarahan varises, dermatitis, tromboplebitis, selulitis, dan ulkus. Pasien mungkin juga datang ke dokter untuk berkonsultasi karena terjadi perburukan dari gejala kronis. Beberapa pasien datang untuk mendapatkan informasi tentang implikasi medis dari varises vena, yang lainnya murni datang karena adanya keluhan kosmetik. Gejala subjektif biasanya lebih berat pada awal perjalanan penyakit, lebih ringan pada pertengahan dan menjadi berat lagi seiring berjalannya waktu. Beratnya gejala tidak berkorelasi dengan ukuran pelebaran vena yang terlihat atau dengan jumlah volume refluks yang terjadi. Gejala yang muncul umunya berupa kaki terasa berat, nyeri sepanjang vena, gatal, rasa terbakar, kram pada malam hari, edema, perubahan kulit dan kesemutan. Nyeri biasanya tidak terlalu berat namun dirasakan terus-menerus dan memberat setelah berdiri terlalu lama. Nyeri yang disebabkan oleh insufisiensi vena biasanya membaik bila beraktifitas seperti berjalan atau dengan mengangkat tungkai, sebaliknya nyeri pada insufisiensi arteri akan bertambah berat bila berjalan dan tungkai diangkat. Nyeri dan gejala lainnya mungkin memberat pada kehamilan.
Penatalaksanaan
1. Non Operatif
a. Kaus Kaki Kompresi (Stocking)
b. Skleroterapi
2. Terapi Minimal Invasif
a. Radiofrekuensi Ablasi (RF).
b. Endovenous Laser Therapy (EVLT)
3. Terapi Pembedahan
a. Ambualtory Phlebectomy (Stab Avulsion)
b. Saphenectomy
Skleroterapi
Definisi
Skleroterapi berasal dari bahasa Yunani yang berarti pengerasan yang merupakan metode pembesaran pembuluh darah dengan menginjeksikan larutan kimia yang disebut larutan sclerosing ke dalam pembuluh darah. Larutan tersebut menyebabkan pembuluh darah mengalami inflamasi, yang akan memicu pembentukan jaringan fibrous dan menutup lumen atau saluran utama pembuluh darah.
Sejarah Scleroterapi
Skleroterapi telah digunakan untuk merawat varises lebih dari 150 tahun. Seperti teknik operasi varises, teknik skleroterapi telah dikembangkan. Teknik modern termasuk dengan bantuan ultrsonografi dan foam skleroterapi, merupakan perkembangan yang terbaru dalam evolusi ini.
Goldman mengatakan bahwa percobaan skleroterapi yang pertama dilakukan oleh D. Zollikofer di Swiss pada tahun 1682 yang menginjeksikan suatu larutan ke dalam pembuluh darah untuk merangsang pembentukan thrombus. Debout dan Cassaignaic dilaporkan sukses merawat varises dengan menginjeksikan perchlorate of iron pada tahun 1853. Desgranges pada tahun 1854 menyembuhkan 16 kasus varises dengan menginjeksikan iodine dan tannin ke dalam pembuluh darah. Kira-kira 12 tahun setelah adanya vena saphenous stripping pada tahun 1844 oleh Madelung. Tetapi, dengan tingkat rata-rata efek samping yang tinggi pada obat yang digunakan waktu itu, skleroterapi ditinggalkan pada tahun 1894. dengan kemajuan pada teknik pembedahan dan anastetik, pembedahan menjadi perawatan pilihan.
Percobaan dilanjutkan dengan sklerosan alternative pada awal abad 20. ketika itu, carbolic acid dan perchlorate mercury di coba dan menunjukkan beberapa efek dalam menghilangkan varises, efek samping juga yang menyebabkan metode tersebut ditinggalkan. Prof. Sicard dan beberapa dokter dari Perancis mengembangkan penggunaan sodium carbonate dan kemudian sodium salicylate selama dan setelah perang dunia I. Kina juga digunakan dengan beberapa efek, selama awal abad 20. Ketika buku Coppleson terbit pada tahun 1929, ia menyarankan penggunaan sodium salicylate atau kina sebagai sklerosan.
Usaha-usaha pengembangan pada teknik dan sklerosan yang lebih aman dan lebih efektif terus berlanjut hingga tahun 1940-an dan 1950-an. Penemuan penting yang layak untuk dicatat adalah pengembangan sodium tetradecyl sulfate (STS) pada tahun 1964, sebuah produk yang masih digunakan hingga saat ini. George Fegan pada tahun 1960-an dilaporkan merawat lebih dari 13.000 pasien dengan skleroterapi, dengan teknik yang memfokuskan fibrosis pada pembuluh darah bukan thrombosis, berkonsentrasi pada pengontrolan aliran darah, dan memperhatikan pentingnya tekanan pada kaki yang dirawat. Prosedur tersebut diterima dikalangan medis terutama di daratan Eropa pada waktu itu. Tetapi tidak begitu diterima di Inggris atau AS, situasi yang terus berkembang hingga saat ini diantara kalangan medis.
Perkembangan besar berikutnya adalah penemuan duplex ultrasonography pada tahun 1980-an dan penggunaannya pada praktek skleroterapi selama decade tersebut. Knight, adalah pendukung awal prosedur baru ini dan menyajikannya pada beberapa konferensi di Eropa dan AS. Artikel Thibault adalah yang pertama membahas topic ini dan dipublikasikan di jurnal angkatan.
Usaha Cabrora dan Monfreaux dalam pengguaan foam skleroterapi muncul bersamaan dengan metode “3 kali tepuk” Sebuah perkembangan lebih lanjut dari perawatan varises dengan skleroterapi.
Epidemiologi
The American College of Phlebology (ACP), kelompok ahli dermatologi, dokter bedah plastik, ahli gynecology, dan dokter bedah umum yang dibekali dengan pelatihan khusus untuk menangani kelainan pembuluh darah, menyatakan bahwa lebih dari 80 juta orang di Amerika Serikat (AS) menderita spider vein atau varises. The American Society of Plastic Surgeon (ASPS) memperkirakan bahwa 50% wanita diatas 21 tahun di AS menderita spider vein.
Nampaknya, wanita lebih rentan terhadap varise atau spider vein daripada pria, tetapi insiden diantara wanita dan pria meningkat berdasarkan usia. Hasil survei yang terbaru menunjukkan, orang dengan usia menengah dan tua di San Diego, California, 80% wanita dan 50% pria menderita spider vein. Kaum pria, tampaknya tidak mencari perawatan untuk spider vein karena alasan kosmetik, karena kerusakan warna kulit yang disebabkan oleh spider vein sering kali tertutupi oleh bulu kaki. Di sisi lain, orang yang terganggu dengan rasa sakit, rasa panas terbakar atau kram kaki, dapat menjalani perawatan skleroterapi.
Menurut ASPS, tercatat sebanyak 616.879 prosedur skleroterapi yang telah diterapkan di AS pada tahun 2001, 97% diterapkan pada wanita dan 3% pada pria. Sebagian besar pasien yang dirawat dengan skleroterapi berusia antara 30-60 tahun.
Patofisiologi
Patogenesis perusakan vena dengan menggunakan bahan-bahan sklerosan yaitu menyebabkan koagulasi yang terlokalisir. Mekanisme ini akan berlanjut dalam beberapa tahap. Efeknya pada mekanisme koagulasi, endothel dan dinding pembuluh darah.
Menurut L. Rusciani dan P. Robins ada 4 fase pada skleroterapi :
Fase pertama terjadi hanya dalam beberapa menit. Selama fase ini, bahan-bahan yang diinjeksikan mengarah pada suatu koagulasi darah intravaskuler dengan kombinasi adanya spasme dan kerusakan selektif endotelium.
Fase kedua terjadi selama kurang lebih 24 jam. Ditandai dengan lisis atau pecahnya fibrin yang rusak. Lisis ini diaktivasi plasminogen yang dilepas oleh subendotelial. Hasilnya adalah trombus dengan sklerosing fibrin yang minimal. Hal ini tidak hanya pada intimanya saja tetapi juga media ikut dirusak setelah kerusakan endotel dengan bahan sklerosan.
Fase ketiga terjadi sekitar 5-7 hari. Terjadi stasis darah yang lengkap diantara area yang terpengaruh oleh bahan sklerosing. Dilanjutkan dengan perkembangan trombus koagulasi. Protein plasma menembus ke dalam dinding pembuluh darah yang rusak dimana bagian-bagian pembuluh darah tersebut telah dirusak secara langsung oleh bahan-bahan sklerosan. Sebagai hasilnya pembentukan fibrin berkembang didalam dinding pembuluh darah dan perivena. Hal ini sendiri mengarah ke infiltrasi seluler, yang terutama terlibat adalah neutrofil dan juga granulosit, limfosit, dan magrofag. Fibroblast mengembangkan aktivitasnya sehingga menimbulkan suatu fibrin seluler yang mengandung thrombus.
Fase keempat dapat terjadi selama berbulan-bulan. Akan terjadi perubahan jaringan lengkap disertai dengan hilangnya struktur anatomis vena.
Indikasi
Skleroterapi adalah tindakan non-bedah, penekanan pada daerah tertentu merupakan dasar dari penanganan ini. Skleroterapi dapat digunakan pada vena-vena kolateral, varises retikuler, dan varises intrakutaneus. Sklerosing pada vena saphena dan vena komunikans hanya dapat dilakukan pada kasus-kasus tertentu.
Indikasi utama untuk skleroterapi adalah meningkatkan penampilan kosmetik dan menghilangkan rasa sakit yang berlebih, rasa terbakar, kelemahan otot, dan kram kaki yang sering menyertai varises di ekstremitas inferior. Tetapi tidak digunakan untuk merawat varises berat.
Bahan-Bahan Sclerosing
Kategori Sklerosan
Larutan sklerosan seringkali diklasifikasikan menjadi tiga kategori secara luas: hypetonic atau hyperosmotic agents, detergent sclerosants dan chemical irritans, terkadang disebut pula dengan “corrosives “ atau “toxin”. Ketiga agent ini bekerja di endothelial dan protein pada permukaan sel subendothelial yang sangat penting demi kemampuan survival sel. Namun tiap-tiap jenis agen tersebut melakukan mekanismenya dengan perbedaan yang sangat tipis sekali dengan yang lainnya.
Larutan Sclerosing Yang Sering Digunakan
Larutan saline hypertonik, saline hypertonik dengan dextrosa, polidocanol, sodium tetradcyl sulfat, iodine, dan glycerine .
a. Hypertonik saline
Kelas Hypertonic dan Hyperionik
Sclerosant lemah dengan beberapa kerugian, mengakibatkan sakit yang sangat pada pasien.
Keuntungan
Memiliki sedikit tingkat alergisitas jika tidak di campur.
Tersedia secara luas
Respon perawatan yang cepat
Kerugian
Karena efek dilusi, pada agen ini sangat sulit menentukan jumlah yang cukup untuk mengatasi sclerosis pembuluh darah besar tanpa meningkatkan toleransi kebutuhan salt. Hal ini dapat mengakibatkan rasa sakit seperti terbakar dan kram otot pada 5 menit setelah injeksi. Jika terextravasasi secara bervariasi akan mengakibatkan nekrosis atau ulceration yang besar. Hal tersebut terjadi karena hemolisis dari sel darah merah dan perusakan cepat endothelial vascular secara terus-menerus. Hal ini tidak disarankan pada facial vein karena resiko terjadinya nekrosis jaringan dan extravasasi.
Indikasi utama
Retikular veins dan telangiectasias pada ektremitas inferior.
Kegunaan tambahan
Tidak direkomendasikan pada tempat lain
Konsetrasi dan Dosis pada Varicose Veins
Tidak digunakan dalam Varicose Veins
Konsetrasi dan Dosis pada telangiectasias dan Retikular Veins
20% atau 23,4% larutan digunakan pada jumlah berkisar antara 2-8 cc per session. Tiap tempat injeksi retikular menerima tidak lebih dari 0.5 cc, dan pada tiap tempat injeksi telangiactatic harus menerima tidak lebih dari 0.2cc.
b. Dextrosa dan Hypertonik Saline
Diproduksi di Kanada dengan nama merk “sclerodex”, larutan komersial ini merupakan campuran dari 25% dextrose dan 10% sodium klorida, dengan sejumlah kecil phenetyl alkohol yang ditambahkan untuk penstabil. Agen hypertonik mempunyai efek seperti pada hypertonik saline, namun penurunan kandungan salt didalamnya memberikan beberapa keuntungan. Tidak seperti Hypertonik salin murni, lebih ringan menyebabkan rasa sakit ketika diinjeksi. hypertonisitas lebih banyak muncul dari dextrose dan lebih sedikit berasal dari saline. Bahan tersebut akan melekat dan tetap ada pada tempat injeksi dan mengakibatkan terjadinya gradien osmotik.
Kelas Hypertonik dan hyperionik
Sclerosant lemah dengan beberapa keuntungan, tidak menyakitkan dibandingkan daripada hypertonik saline.
Keuntungan
Rendahnya peluang terjadinya alergi dan nekrosis
Hanya sedikit rasa sakit yang dialami ketika injeksi
Dilaporkan efektif pada tiny red telangiectasias dan telangiectatic matting.
Kerugian
Rasa sakit yang kecil dan melekat ketika diinjeksi, walaupun lebih rendah dibandingkan pada hypertonik saline, kemungkinan bisa terjadi hyperpigmentasi.
Indikasi utama
Telangiectasias pada ekstremitas inferior atau wajah.
Kegunaan tambahan
Reticular vein dan telangiectasias pada bagian lain selain wajah.
Konsentrasi dan dosis pada Varicose Veins
Tidak digunakan pada vena yang besar, mungkin untuk dicampur dengan korosif agent seperti iodinated iodine pada situasi tertentu.
Konsentrasi dan dosis pada telangiectasias dan reticular veins
Injeksi dengan kekuatan penuh. Hingga pada 1 cc per tempat injeksi pada retikular veins, dan hingga 0.2 cc per tempat injeksi pada telangiectasia, hingga menjadi total 10 cc per sesi tindakan.
c. Polidocanol
Polidocanol (POL; hydroxy-polyethxy-dodecane) adalah rantai panjang sintetis lemak alkohol, dijual dengan banyak nama merk dagang. Polidocanol dilaporkan sebagai agen yang paling sering digunakan untuk sclerotherapy di seluruh dunia dan merupakan peringkat kedua yang paling sering digunakan di US. Polidocanol pertama kali dikenalkan di Jerman pada 1936 sebagai topical dan lokal agen anesthetik, dan belum terdaftar sebagai agen sclerosing hingga pada tahun 1967.
Kelas Detergent
Sclerosan baru yang tersedia secara komersil, aman untuk semua tujuan.
Keuntungan
Dapat digunakan pada semua ukuran dan tipe varicose veins, reticular atau telangiectatic veins.
Injeksi intravaskular tidak menyakitkan,
Extravasation biasanya tidak menyebabkan nekrosis
Reaksi alergi sangat jarang ditemukan
Cairannya liquid tidak lengket
Mudah dibusakan untuk mengurangi volume cairan injeksi
Dengan teknik yang baik terjadinya hyperpigmentation mungkin dapat dikurangi daripada agent lain
Indikasi utama
Varicose Vein besar dan kecil, retikular veins, telangiectasias
Kegunaan tambahan
Telangiectasias pada wajah dan trunk
Konsentrasi dan dosis pada varicose veins
Konsentrasi tinggi mungkin dibutuhkan. Di Jerman konsentrasi tertinggi yang digunakan adalah 4%, namun preparasi ini terdiri dari sejumlah ethyl alkohol, konsentrasi tertinggi yang digunakan di Perancis adalah 3%.
Pabrikan POL Jerman merekomendasikan 3% POL untuk varicose vein dengan diameter 4-8 mm, 2% POL untuk diameter Vein 2-4 mm dan 1% POL untuk retikulas vein dan small varicose vein dengan diameter 1-2 mm.
Di Perancis, polidocanol digunakan pada konsentrasi tinggi untuk tindakan langsung pada saphenofemoral junction. Ketika digunakan untuk truncal varises dibawah saphenofemoral junction, konsentrasi 1% hingga 3% digunakan tergantung pada ukuran dari vein. Ketika digunakan pada non-truncal varises, konsentrasi 0.5% hingga 1% biasanya dianggap cukup.
Volume 0.5 cc hingga 1.00 secara normal digunakan pada tiap tempat injeksi, dan jumlah total per session tidak boleh melebihi 120 mg (3cc dari 4% larutan atau 12 cc dari 1% larutan).
Konsentrasi dan dosis pada telangiectasias dan retikular veins
Retikular veins diperlakukan dengan 0.5% atau 1.0% larutan hingga 1 cc tiap tempat injeksi. Telangiectasias digunakan 0.25% hingga 0.75% larutan dan 0.1 cc atau 0.22 tiap tempat injeksi.
d. Sodium Tetradecyl Sulfates
Sodium Tetradecyl Sulfate (STS) (Sotradecol, Fibrovein, thromboject), merupakan rantai panjang asam lemak salt kandungan detergent yang kuat. Merupakan agent sclerosing yang sangat effective dengan hasil yang sangat baik.
Kelas Detergent
Sangat aman, untuk semua tujuan, sclerosant cukup kuat.
Keuntungan
Secara kasar dapat diartikan dua kali lebih baik dibandingkan polidocanol pada konsentrasi yang sama.
Dapat digunakan dalam semua ukuran dan tipe dari varicose, reticular, atau telangiectatic veins
Injeksi intravaskular tidak menyakitkan
Reaksi alergi mungkin dapat muncul namun sangat jarang (dapat diminimalisir dengan latex-free syringes)
Cairannya mudah berubah bentuk, agak lengket.
Kerugian
Extrasvasation dapat menyebabkan nekrosis
Hyperpigmentasi dan telangiectatic matting jarang terjadi
Mampu melarutkan rubber syringe plunger pada konsentrasi yang tinggi.
Indikasi utama
Varicose besar dan kecil, retikular veins, telangiectasias.
Kegunaan Tambahan
Telangiaectasias pada wajah dan trunk.
Konsentrasi dan dosis pada Varicose Vein
Konsentrasi maksimum digunakan untuk tindakan pada saphenofemoral junction. Jika digunakan pada truncal atau non-truncal varices dibawah saphenofemoral junction, digunakan konsentrasi 1.5%-3% untuk diameter vena lebih besar dari 4 mm dan konsentrasi 0.5%-1.0% digunakan pada vena dengan diameter 2-4 mm.
Volume 0.5-1.0 cc secara normal digunakan pada tiap tempat injeksi dan total jumlah per sesi tiap minggu tidak boleh melebihi 300 mg (10 cc dari 3% larutan). Inggris menyarankan penggunaan dosis maksimal lebih rendah yaitu 120 mg tiap sesi.
Konsentrasi dan dosis pada telengiectasias dan retikular veins
Retikular vien digunakan 0.2%-1.0% dan sampai 1 cc pada tiap tempat injeksi. Telangiectasias diberikan 0.1 cc atau 0.2 cc tiap tempat injeksi. Sesuai dengan yang dianjurkan untuk konsentrasi awal pada telangiectasias adalah 0.1%
e. Polyiodinated Iodine
Polyiodinated Iodine (Variglobin) merupakan larutan senyawa (diatomik) iodine yang distabilkan dengan air, sodium iodine, dan benzyl alkohol yang terdapat dalam konsentrasi dari 2% hingga 12%. Komposisi aktif dari senyawa iodine, yang secara cepat bereaksi pada dinding pembuluh darah (tempat injeksi). Merupakan agent yang sangat kuat yang mampu mengakibatkan kerusakan pembuluh darah secara dramatic dan sangat cepat. Efeknya bersifat lokal karena terdilusi dengan darah, senyawa iodine tersebut secara cepat terreduksi menjadi iodide, yang tidak reaktif, larutan ini merupakan salah satu larutan yang paling aman
Kelas Agent yang Secara kimia reaktif (korosif).
Larutan sclerosing yang paling kuat yang pernah ada di dunia. Sering sekali digunakan secara luas untuk sclerosis pada incompetent saphenofemoral junction.
Keuntungan
Reaksi tinggi yang terlokalisasi
Sangat efektif jika digunakan dengan benar
Beresiko terjadinya reaksi alergi
Kerugian
Reaksi tinggi yang terlokalisasi
Thrombogenik tinggi yang terlokalisasi
Cairannya berwarna coklat, sehingga darah yang masuk kedalam syringe tidak dengan mudah terlihat.
Mengakibatkan koagulasi darah secara cepat pada syringe
Sangat menyakitkan jika terextravasasi
Nekrosis extravasation
Sensasi ‘flulike’ dan terkadang dengan adanya demam setelah dosis tinggi diaplikasikan.
Beberapa pasien melaporkan metallic taste.
Indikasi utama
Saphenofemoral dan saphenopopliteal junctinon, setelah gagal dari larutan sclerosing lainnya.
Kegunaan lainnya
Ditangan praktisi yang berpengalaman agent ini merupakan agent yang digunakan sebagai sclerosing agent untuk semua tujuan dan untuk segala ukuran.
Konsentrasi dan dosis pada varicose vein
Pada dosis awal 1cc dari 3% larutan mungkin dapat digunakan bila digunakan pada saphenofemoral atau saphenopopliteal junction. Truncal varicosities dapat digunakan dengan 2 cc dari 1% larutan tiap titik injeksi. Penambahan dapat diberikan dengan 1cc dari 0.5% larutan tiap titik injeksi. Dosis maksimum tiap sesi adalah 5 cc dari 12%.
Konsentrasi dan dosis pada telangiectasias dan retikular veins
Tidak digunakan untuk vena kecil
f. Chromated Glyceryn
Glycerin adalah ti-alkohol (1,2,3-propanetriol) yang bekerja dengan ikatan hidrogen yang kuat. Gliserin secara komersil telah tersedia dalam kombinasinya dengan pottassium chromate, namun tidak ditunjukan dengan penambahan salt untuk meningkatkan keefektifannya. Chromated Gliserin (CG) (Scleremo, Chromex) merupakan larutan lemah yang prinsipnya digunakan pada pembuluh darah terkecil, seperti residual telangiectasia setelah diterapi awal pada sclerotherapy. Secara komersial terdapat gliserin campuran 720 mg/ml dan chrome potassium alum (a chrome salt) 8 mg/ml dalam basa encer.
Kelas Belum pasti (biasanya dikategorikan dalam secara kimia reaktif)
Sangat lemah, sclerosant yang sangat aman, dikenal dengan sebutan ‘the beginner’s sclerosant.
Keuntungan
Extravasation tidak mengakibatkan nekrosis
Jarang sekali ditemukan hyperpigmentasi
Jarang sekali ditemukan alergi
Kerugian
Terkadang terlalu lemah
Sangat lengket dan sulit untuk diinjeksikan dengan kekuatan penuh
Sangat menyakitkan jika terjadi extravasasi
Injekasi dengan jumlah yang besar pada retikular vein dapat menyebabkan kram
Dapat menyebabkan hematuria pada dosisi tinggi
Indikasi utama
Telangiectasias
Kegunaan tambahan
Sering kali digunakan pada retikular kecil dan varicose vein kecil
Konsentrasi dan dosis pada varicose vein Tidak digunakan
Konsentrasi dan dosis pada telangectasias dan retikular vein
0.1-0.2 cc tiap tempat injeksi pada kekuatan penuh atau terdilusi pada 50% atau 25% untuk menurunkan viskositas. Volume maksimum tiap sesi adalah 10 cc pada larutan dengan kekuatan penuh.
g. Sodium Salisilat (Larutan yang secara utama menjadi perhatian sejarah)
Diperkenalkan pada 1919, sodium salisilat merupakan yang pertama kali dinyatakan aman dan efisien terhadap semua fungsi sklerosant.
Kelas Agent caustic (korosif)
Kuno, untuk semua tujuan, aman, dan lemah dan merupakan sclerosant yang sangat menyakitkan
Keuntungan
Efeknya mampu diprediksi
Kerugian
Sangat menyakitkan, walau diinjeksikan secara intra vaskuler dapat menyebabkan tinnitus
Indikasi utama
Varicose kecil dan retikular veins
Kegunaan tambahan
Tidak ada
Konsentrasi dan dosis pada varicose veins
0.5 cc-2 cc tiap tempat aplikasi dari 12%-60% larutan. Dosis maksimum adalah 5-6 cc dari 60% larutan
Konsentrasi dan dosis pada telangirctasias dan retikular veins
0.5 cc-1.0 cc dari 12 % tiap tempat pada retikular veins, dan 0.1 cc-0.2 cc dari 7%-10 % larutan tiap tempat injeksi pada telangiectasias.
Larutan Baru dan Experimental
a. Gliserin dan Polidocanol
Gliserin dan polidocanol (AV-15) telah dikombinasikan sebagai agent sclerosant baru yang sekarang masih dikembangkan di Perancis.
Kelas Baru, sclerosant lemah.
Keuntungan
Sangat sering digunakan tanpa dilakukan pengenceran
Sangat sedikit terjadinya alergi
Kerugian
Hematuria dan renal toksisitas pada jumlah yang tinggi (gliserin)
Indikasi Utama
Telangiectasias
Kegunaan tambahan
Retikular veins kecil dan telagiectasias pada wajah dan trunk.
Konsentrasi dan dosis pada varicose veins
Tidak digunakan
Konsentrasi dan dosis pada telangiectasias dan retikular veins
0.1 cc-0.2 cc dari kekuatan penuh larutan per tempat injeksi. Dosis maksimum belum diketahui
b. Busa polidocanol
Busa polidocanol diketahui sebagai agen sclerosing baru yang saat ini masih dalam pengembangan. Polidocanol dibusakan dengan menggunakan inert gas hingga membentuk konsistensi busa seperti pada busa krim cukur.
Kelas Detergent. Baru, merupakan sclerosant lemah.
Keuntungan
Sama seperti polidocanol namun terdapat penggunaan dalam konsentrasi rendah sehingga sangat sedikit kemungkinan terjadinya pigmentasi dan matting.
Kerugian
Sama seperti polidocanol
Indikasi Utama
Telangiectasias dan reticular veins
Kegunaan lain
Retikular veins kecil, dan telangiectasias pada wajah dan trunk
Konsentrasi dan dosis pada varicose veins
Belum diketahui
Konsentrasi dan dosis pada telangiectasias dan retikular veins
Belum diketahui
Larutan Yang Tidak Direkomendasikan
Terdapat dua larutan yang diakui FDA dan terdapat di US yang tidak boleh direkomendasikan untuk digunakn pada extremitas inferior yang mengalami venous insufficiency begitu pula untuk kosmetik dimanapun letak aplikasinya. Agen ini adalah sodium morrhuate dan etanol amine oleate kegunaan utamanya adalah untuk pendarahan saat sclerosing pada varises esophagus, situasi klinik dengan resikonya yang tinggi dapat mengakibatkan kematian secara cepat jika agent ini diaplikasikan dan beresiko tinggi terjadinya nekrosis jaringan dan reaksi anaphilactic.
a. Sodium Morrhuate
Sodium morrhuate (scleromate, palisade pharmacetutical) adalah campuran dari salt yang tersaturasi dan asam lemak tak jenuh pada minyak hati ikan cod. 20.8% komposisi asam lemaknya tidak diketahui. Penggunaanyan dibatasi setelah adanya laporan mengenai adanya fatalitas sekunder dari anaphylaxis. Agent ini digunakan untuk sclerosis dari varises esofagus namun komplikasinya dilaporkan muncul pada 48% pasien.
Walaupun FDA memperbolehkan soddium morrhuate untuk dilabeli dan dijual untuk penanganan sclerosis pada varicose veins, tetapi penggunaanya jarang sekali disarankan. Satu laporan dalam literatur menyebutkan pada aplikasinya terhadap telangiectasias tidak menyarankan penggunaannya secara rutin pada phlebology.
b. Ethanolamine Oleate
Etanolamine oleate (etamolin, blockdrug co.) adalah agent sintetis yang terdiri dari basa organik yang dikombinasikan dengan asam oleik dan mensuplai sekitar 5% larutan. Hanya dengan seijin FDA untuk menggunakannya dalam penanganan varises esofagus. Seperti sodium tetradesil sulfat dan sodium morrhuate agent ini juga kakek dari FDA dan faktanya ini diakui untuk dijual secara komersil dan tidak ada implikasi dari FDA untuk melakukan pemeriksaaan keamanannya dan kemanjurannya. Etanolamine oleat merupakan larutan minyak yang lengket dan cukup tebal dan sulit untuk disuntikan. Larutan ini secara luas digunakan di UK untuk mengendalikan pendarahan varises esofageal akut, dan dilaporkan memiliki komplikasi utama yang hampir sama seperti sodium morrhuate, namun lebih jauh lagi lebih hebat dibandingkan STS, dan juga reaksi alergi telah dilaporkan dalam penggunaannya terhadap varicosities pada kaki. Sangat tidak dianjurkan pada peripheral varicose veins atau pada telangiectasias. Penulis tidak merekomendasikan penggunaannya secara rutin pada phlebology.
Foam Skleroterapi
Foam skleroterapi memiliki profil dengan efektivitas dan keamanan yang sempurna dan diakui FDA untuk sclerosis vena. Sclerosants jenis deterjen yang digunakan untuk membentuk foam. Sodium tetradecyl sulfate adalah deterjen asam lemak rantai-panjang yang dipakai sejak tahun 1940-an. Pembuatan foam mudah dan cepat. Dapat dipersiapkan dengan menggunakan 2 buah syringe 5 cc dan sebuah stopcock tiga-jalur. Campurannya adalah satu bagian bahan sclerosing dan empat bagian udara. Hanya bahan-bahan sclerosing deterjen seperti Sodium Tetradechol Sulfate dan Polidocanol dengan konsentrasi mulai dari 0,25% hingga 3 % saja yang dapat digunakan.
Prosedur
A. Diagnosis
Aspek terpenting dalam diagnosis sebelum memulai skleroterapi adalah membedakan antara Telangiectasias dengan varises besar. Karena skleroterapi hanya dimaksudkan untuk merawat pembuluh darah superfisial yang kecil.
Inspeksi
Inspeksi tungkai dilakukan dari distal ke proksimal dari depan ke belakang. Region perineum, pubis, dan dinding abdomen juga dilakukan inspeksi. Pada inspeksi juga dapat dilihat adanya ulserasi, telangiektasi, sianosis akral, eksema, dermatitis, angiomata, varises vena prominent, jaringan parut karena luka operasi. Setiap lesi yang terlihat seharusnya dilakukan pengukuran dan didokumentasikan berupa pencitraan. Vena normalnya terlihat distensi hanya pada kaki dan pergelangan kaki. Pelebaran vena-vana superfisial yang terlihat pada regio lainnya pada tungkai biasanya merupakan suatu kelainan. Pada seseorang yang mempunyai kulit yang tipis vena akan terlihat lebih jelas.
Stasis aliran darah vena yang bersifat kronis terutama jika berlokasi pada sisi medial pergelangan kaki dan tungkai menunjukkan gejala seperti perubahan struktur kulit. Ulkus dapat terjadi dan sulit untuk sembuh, bila ulkus berlokasi pada sisi media tungkai maka hal ini disebabkan oleh adanya insufusiensi vena. Insufisiensi arteri dan trauma akan menunjukkan gejala berupa ulkus yang berloksi pada sisi lateral.
Palpasi
Palapsi merupakan bagian penting pada pemeriksaan vena. Seluruh permukaan kulit dilakukan palpasi dengan jari tangan untuk mengetahui adanya dilatasi vena walaupun tidak terlihat ke permukaan kulit. Palpasi membantu untuk menemukan keadaan vena yang normal dan abnormal. Setelah dilakukan perabaan pada kulit, dapat diidentifikasi adanya kelainan vena superfisial. Penekanan yang lebih dalam dapat dilakukan untuk mengetahui keadaan vena profunda.
Palpasi diawali dari sisi permukaan anteromedial untuk menilai keadaan VSM kemudian dilanjutkan pada sisi lateral diraba apakah ada varises dari vena nonsafena yang merupakan cabang kolateral dari VSM, selanjutnya dilakukan palpasi pada permukaan posterior untuk menilai keadaan VSP. Selain pemeriksaan vena, dilakukan juga palpasi denyut arteri distal dan proksimal untuk mengetahui adanya insufisiensi arteri dengan menghitung indeks ankle-brachial. Nyeri pada saat palpasi kemungkinan adanya suatu penebalan, pengerasan, thrombosis vena. Empat puluh persen DVT didapatkan pada palpasi vena superfisialis yang mengalami thrombosis.
Perkusi
Perkusi dilakukan untuk mengetahui kedaan katup vena superficial. Caranya dengan mengetok vena bagian distal dan dirasakan adanya gelombang yang menjalar sepanjang vena di bagian proksimal. Katup yang terbuka atau inkompeten pada pemeriksaan perkusi akan dirasakan adanya gelombang tersebut.
Manuver Perthes
Manuver Perthes adalah sebuah teknik untuk membedakan antara aliran darah retrograde dengan aliran darah antegrade. Aliran antergrade dalam system vena yang mengalami varises menunjukkan suatu jalur bypass karena adanya obstruksi vena profunda. Hal ini penting karena apabila aliran darah pada vena profunda tidak lancar, aliran bypass ini penting untuk menjaga volume aliran darah balik vena ke jantung sehingga tidak memerlukan terapi pembedahan maupun skleroterapi.
Untuk melakukan manuver ini pertama dipasang sebuah Penrose tourniquet atau diikat di bagian proksimal tungkai yang mengalami varises. Pemasangan tourniquet ini bertujuan untuk menekan vena superficial saja. Selanjutnya pasien disuruh untuk berjalan atau berdiri sambil menggerakkan pergelangan kaki agar sistem pompa otot menjadi aktif. Pada keadaan normal aktifitas pompa otot ini akan menyebabkan darah dalam vena yang mengalami varises menjadi berkurang, namun adanya obstruksi pada vena profunda akan mengakibatkan vena superficial menjadi lebih lebar dan distesi.
Perthes positif apabila varises menjadi lebih lebar dan kemudian pasien diposisikan dengan tungkai diangkat dengan tourniquet terpasang. Obstruksi pada vena profunda ditemukan apabila setelah tungkai diangkat, vena yang melebar tidak dapat kembali ke ukuran semula.
Tes Trendelenburg
Tes Trendelenburg sering dapat membedakan antara pasien dengan refluks vena superficial dengan pasien dengan inkompetensi katup vena profunda. Tes ini dilakukan dengan cara mengangkat tungkai dimana sebelumnya dilakukan pengikatan pada paha sampai vena yang mengalami kolaps varises . Kemudian pasien disuruh untuk berdiri dengan ikatan tetap tidak dilepaskan. Interpretasinya adalah apabila varises yang tadinya telah kolaps tetap kolaps atau melebar secara perlahan-lahan berarti adanya suatu inkompenten pada vena superfisal, namun apabila vena tersebut terisi atau melebar dengan cepat menunjukkan adannya inkompetensi pada katup vena yang lebih tinggi atau adanya kelainan katup lainnya.
Auskultasi menggunakan Doppler
Pemeriksaan menggunakan Doppler digunakan untuk mengetahui arah aliran darah vena yang mengalami varises, baik itu aliran retrograde, antegrade, atau aliran dari mana atau ke mana. Probe dari doppler ini diletakkan pada vena kemudian dilakukan penekanan pada vena disisi lainnya. Penekanan akan menyebabkan adanya aliran sesuai dengan arah dari katup vena yang kemudian menyebabkan adanya perubahan suara yang ditangkap oleh probe Doppler. Pelepasan dari penekanan vena tadi akan menyebabkan aliran berlawanan arah akut. Normalnya bila katup berfungsi normal tidak akan ada aliran berlawanan arah katup saat penekanan dilepaskan, akhirnya tidak akan ada nada suara yang terdengar dari Doppler.
Pemeriksaan Imaging
Tujuan dilakukannya pemeriksaan ini adalah untuk mengidentifikasi dan memetakan seluruh area yang mengalami obstruksi dan refluks dalam system vena superficial dan system vena profunda. Pemeriksaan yang dapat dilakukan yaitu venografi dengan kontras, MRI, dan USG color-flow dupleks. USG dupleks merupakan pemeriksaan imaging standar yang digunakan untuk diagnosis sindrom insufisiensi varises dan untuk perencanaan terapi serta pemetaan preoperasi. Color-flow USG (USG tripleks) digunakan untuk mengetahui keadaan aliran darah dalam vena menggunakan pewarnaan yang berbeda. Pemeriksaan yang paling sensitive dan spesifik yaitu menggunakan Magnetic Resonance venography (MRV) digunakan untuk pemeriksaan kelainan pada sistem vena profunda dan vena superficial pada tungkai bawah dan pelvis. MRV juga dapat mengetahui adanya kelainan nonvaskuler yang menyebabkan nyeri dan edema pada tungkai.
B. Pelaksanaan
Berdiri
Posisi pasien berdiri, dengan diameter varises 2 cm, konsentrasi akhir pada jarak injeksi 10 cm (4 inchi) adalah 30 kali lebih rendah dibanding dengan konsentrasi awal. Menggandakan konsentrasi awal hanya menghasilkan konsentrasi akhir dua kali lipat, yang tetap saja 15 kali lebih rendah dari pada konsentrasi di syringe. Dengan kata lain, bila 1 cc dari larutan 3% diinjeksikan, konsentrasi akhir pada permukaan endothelial adalah 1% pada jarak 1 cm dari titik injeksi, 0.5% pada jarak 2 cm, 0.25% pada jarak 4 cm, dan 0.2% pada jarak 5 cm. Hal ini sangat sulit untuk mengeraskan pembuluh darah yang lebih besar dengan menyuntikkan larutan sclerosing bila posisi pasien berdiri.
Terlentang
Varises yang menonjol ketika pasien berdiri mungkin hilang ketika pasien terlentang, tetapi duplex ultrasound telah siap mendemonstrasikan bahwa pembuluh darah tidak kosong dari darah. Baik varises dan pembuluh darah normal mengandung volume darah yang signifikan dengan posisi kaki di julurkan saat terlentang. Penonjolan varises dengan diameter 2 cm pada posisi berdiri, mungkin lebih kecil 1 cm pada posisi terlentang dan 0.5 cm atau lebih kecil ketika kaki diangkat setinggi mungkin. Dengan pasien pada posisi terlentang, injeksi 1 cc dari larutan 3% mengarah pada konsentrasi akhir sekitar 1.7% pada jarak 1 cm dan 0.6% pada jarak 5 cm dari titik injeksi. Teknik posisi terlentang ini cukup membatasi pengenceran larutan untuk memungkinkan kesuksesan sklerosing pada pembuluh darah yang besar menggunakan larutan detergen, begitu juga dengan kekurangan konsentrasi dan volume sklerosan yang diinjeksikan. Satu-satunya masalah adalah bahwa bila injeksi sklerosan pada konsentrasi awal tinggi, diinjeksikan secara langsung ke dalam sistem pembuluh darah profunda, pencairan larutan di dalam pembuluh darah profunda masih memungkinkan terjadinya kerusakan endothelial jangka pendek di area 1 dan 2 pada pembuluh darah profunda. Hal ini dapat menyebabkan kerusakan katup pembuluh darah profunda dan kerusakan venus kronis, thrombosis pembuluh dalam dengan resiko embolisme pulmoner.
Posisi Kaki Diangkat
Tidak seperti posisi berdiri dan terlentang, ketika pasien terlentang dan kaki diangkat vertikal sehingga kaki di atas sirkulasi sentral, sebagian besar varises hilang dan tidak mengandung darah. Kalkulasi pada posisi ini, 1 cc dari larutan 3% menghasilkan konsentrasi akhir 2.5% pada jarak 1 cm dari titik injeksi, dan kosentrasi akhir 1.6% pada jarak 5 cm. Nyatanya, konsentrasi akhir tetap sekitar 1% pada jarak 10 cm dari titik injeksi. Karena pembuluh darah superfisial yang lebih besar dan pembuluh darah profunda terus mengandung sejumlah darah pada posisi kaki diangkat, sklerosan yang mengalir di dalam pembuluh darah ini akan mencair dengan segera hingga menjadi konsentrasi yang aman dan tidak membahayakan, menjaga endothelium pembuluh darah yang diharapkan bertahan. Penginjeksian di ambang konsentrasi seperti ini secara langsung kedalam pembuluh darah superfisial (atau bahkan langsung ke pembuluh darah profunda) tidak akan menyebabkan cedera pembuluh darah profunda.
Pada pasien rawat jalan yang menjalani skleroterpi, pasien diminta berbaring di meja praktek. Setelah permukaan kulit dibersihkan dengan antiseptik, dokter meng-injeksikan larutan sklerosan ke dalam pembuluh darah. Larutan akan hilang ketika kulit diregangkan dengan kencang di area tersebut dengan bantuan tangan. Pertama-tama dokter menginjeksi pembuluh yang lebih besar di tiap area tungkai, kemudian yang lebih kecil. Pada sebagian besar kasus, injeksi diperlukan di setiap inchi, sesi perawatan khusus akan memakan 5-40 injeksi terpisah. Anastesi tidak diperlukan dalam skleroterapi, meskipun pasien akan merasakan sakit seperti digigit semut atau panas saat penginjeksian.
Setelah seluruh pembuluh darah di area tertentu di kaki di-injeksi, dokter menutup area tersebut dengan perban dan kompres. Pasien diminta menunggu di tempat praktek selama 20-30 menit setelah perawatan sesi pertama untuk meyakinkan bahwa tidak ada hipersensitifitas pada larutan pengeras. Sebagian besar sesi perawatan skleroterapi tidak memakan waktu yang lama, bertahan dari 15 hingga 45 menit.
Perawatan Lanjutan
Perawatan lanjutan setelah skleroterapi yaitu mengenakan kaus kaki medis yang ketat yang memberikan tekanan sebesar 20-30 mm Hg atau 30-40 mm Hg selama sekurang-kurangnya 10 hari (lebih baik lagi 4 minggu hingga 6 minggu) setelah prosedur. Mengenakan kaus kaki ketat mengurangi resiko edema, kerusakan warna kulit, dan sakit. Kompresi terjadi di dinding vena pada permukaan endothelial setelah sclerotherapy, hal itu mengurangi pembentukan thrombus dan memicu sclerosis dari pembuluh darah. Hal ini juga meningkatkan fungsi dari pompa otot pada betis untuk membantu menghilangkan larutan yang terendam dalam sistem vena yang dalam. Penurunan bentuk thrombus setelah sclerotherapy sangatlah penting dalam meminimalisir hiperpigmentasi. Pada percobaan multicenter secara acak yang dilakukan pada pasien penderita bilateral scleroterapi, namun kompresi hanyalah dialami pada satu kaki, hiperpigmentasi dan edema yang secara signifikan hadir dengan besar pada kaki tanpa terkompresi.Kapas dan perban yang digunakan selama perawatan tetap dikenakan selama 48 jam setelah pasien pulang.
Pasien disarankan untuk berjalan-jalan, bersepeda atau mengikuti olahraga ringan lainnya (contoh: yoga dan taichi) untuk mecegah terbentuknya penggumpalan darah di pembuluh darah dalam pada kaki. Pasien harus menghindari berdiri atau duduk terlalu lama, dan aktifitas berat yang lain, seperti berlari.
Kontraindikasi
Skleroterapi memiliki kontraindikasi absolut dan relatif terdapat pada tabel dan
Pasien dengan arteri oklusif yang nyata dianggap sebagai kontraindikasi absolut. Pertama karena penekanan yang dibutuhkan tidak bisa dilakukan. Kedua karena sirkulasi arteri yang menurun dapat mengarah pada komplikasi dan nekrosis. Hal ini juga berlaku pada pasien dengan diabetik mikroangiopati. Pasien dengan antikoagulan mempunyai risiko lebih tinggi untuk terjadinya hematoma setelah suntikan intravena. Pasien ini harus diberi penjelasan dan terapi tekanan harus dilakukan dengan sangat
Komplikasi
Skleroterapi itu aman dan memiliki efek samping yang minimal, bila diaplikasikan dengan benar. Meski demikian sejumlah komplikasi dapat terjadi.
Urticaria dan edema secara tipikal dapat dihilangkan kurang dari 1 jam namun hal tersebut biasanya hilang pada saat pasien meninggalkan ruangan. Reaksi yang berlangsung lama, oral anti histamin dan pada kejadian tertentu, penggunaan steroid mungkin dibutuhkan.
Reaksi anafilaksis sangat jarang terjadi, penanganan kedaruratan harus segera dilakukan, seperti subcutaneous administration of epinephrine, pemberian oksigen dan pembebasan jalan napas. Pasien selanjutnya harus diberi antihistamin dan dirujuk ke intensive care unit untuk pemeriksaan dan penanganan lebih lanjut. Seperti yang telah tercatat, ketersediaan perlengkapan darurat (emergency response cart), meliputi persediaan intubation endotracheal, dan medikasi, sangat penting di tempat kerja dimana dilakukannya tindakan sclerotherapy.
Nekrosis kulit muncul 0.2% hingga 1.2% setelah injeksi skleroterapi. Hal ini sangat sulit sekali dicegah. Berdasarkan pelebaran nekrosis, penyembuhan mungkin akan menghabiskan waktu berbulan-bulan. Penyebab utama dari nekrosis adalah ekstravasasi dari sclerosant pada jaringan subcutaneous, ketidak hati-hatian injeksi pada arteriole, dan vasospasme. Hal ini dapat diatasi dengan pemberian hialurodinase 75 unit.
Hyperpigmentasi sering terjadi.. Hal ini sering terjadi pada orang berkulit gelap dan pada mereka yang memiliki pembuluh darah berwarna ungu-gelap. Namun, hyperpigmentasi dapat hilang seiring dengan waktu, namun proses ini berlangsung berbulan-bulan. Tekanan post-sclerotherapy dapat mengatasi hyperpigmentasi. Tidak ada konsensus secara tegas bagaimana hyperpigmentasi ditangani pada saat awal kemunculannya. Disarankan penggunaan krim pemudar, seperti yang dianjurkan pada tindakan laser untuk mempercerah pigmentasi. Hasil studi pada tahun 2001 ditemukan 80% depigmentasi dapat dicapai dengan injeksi subcutaneous tiap minggu dengan chelating agent deferoxamine mesylate.
Timbulnya DVT setelah sclerotherapy tidak diketahui namun timbulnya sangat rendah secara keseluruhan. Resikonya akan semakin besar pada saat kosentrasi larutan yang digunakan berlebih dari volumenya.
Pelebaran vena-vena yang berwarna merah kecil yang baru pada area injeksi sebelumnya disebut dengan telangiactatic matting. Seperti pada ulceration, hal tersebut tidak dapat diprediksi. Tekanan pada saat injeksi berperan penting sebagai penyebabnya, namun etiologi secara pasti belum diketahui. Telangiectatic matting sangat sulit dicegah pada saat pertama muncul. Adakalanya, hal tersebut dapat hilang secara spontan, namun kebanyakan hal tersebut ditujukan pada sclerothrapy yang berulang pada reticular vein atau terapi laser. Telangiectatic matting biasanya menghilang dengan sendirinya selama 3 sampai dengan 12 bulan setelah skleroterapi.
Diposting oleh EwieQ di 19.58 0 komentar
Senin, 11 Januari 2010
Kenyataan bahwa keluarga Edward adalah vampir, yang meski telah berusaha tidak meminum darah manusia dan menggantinya dengan darah binatang, tidak menghilangkan sifat dasar yang selalu haus darah manusia. Dan Bella berada di sana, manusia dengan darah segar dari pembuluh yang terus berdenyut dan berbau menggoda, seolah siap dirobek oleh gigi-gigi mereka yang tajam. Namun akankah kenyataan tersebut membuat Bella ketakutan? Ternyata tidak. Kehancuran gadis itu justru ketika Edward meninggalkannya dengan tiba-tiba. Benarkah Edward sudah tidak mencintainya lagi? Apakah berada di samping Bella terlalu berat bagi vampir tampan itu? Untuk senantiasa menahan keinginan untuk membunuh gadis itu. Tanpa kata Edward pergi membawa semua kenangan mereka sehingga seolah dia tidak pernah berada di samping Bella.
Sanggupkah Bella menerima kenyataan ini? Berbulan-bulan dia hidup bagai orang mati dan mengabaikan semuanya. Hingga dia jatuh ke dalam pelukan Jacob Black, remaja Indian tampan yang telah lama jatuh hati pada Bella. Namun ternyata cinta mereka juga sama bahaya dan terlarangnya. Kenyataan bahwa Jacob Black adalah seorang manusia serigala yang musuh utama vampir memantapkan posisi Bella sebagai daya tarik terhadap masalah.
Namun di sela pergulatan cinta segi tiga itu Edward justru hadir kembali. Mampukah dia memenangkan kembali hati Bella? Apalagi dengan peristiwa yang terjadi dan melibatkan sepasukan vampir yang menegakkan aturan di antara vampir-vampir di dunia demi melindungi eksistensi mereka. Namun kenapa justru di tengah berbagai masalah tersebut, Edward justru kembali menyatakan cintanya pada Bella dan melamarnya? Lalu bagaimanakah dengan Jacob Black?
Diposting oleh EwieQ di 18.02 0 komentar